Burung merupakan salah satu mahluk ciptaan Tuhan yang paling indah. Burung memiliki daya tarik yang khas. Karena keindahannya, maka ada keinginan untuk memelihara di luar dari kebiasaan habitatnya. Banyak tindakan yang dilakukan untuk menangkap burung, dengan cara menembak bius, menangkap dengan umpan, mengambil sarangnya dan membuat jebakan.
Ada yang sebagian berpendapat burung dijadikan peluang bisnis dan lambang prestise. Ada beberapa jenis burung yang memiliki status perlindungan dan dikategorikan sebagai satwa langka yang dijadikan sebagai penentu harga.
Menurut ilmu lingkungan dan keanekaragaman hayati, cara-cara menangkap burung yang telah disebutkan di atas adalah cara-cara yang tidak dibenarkan. Kepunahan burung selain disebabkan oleh hilang dan rusaknya habitat, juga disebabkan oleh perburuan.
Dan lebih ironisnya lagi, sengaja / tidak sengaja di kots-kota besar terdapat suatu areal yang dijadikan sebagai tempat untuk transaksi jual beli secara terbuka sehingga tercipta "pasar burung". Penjual dan pembeli kurang mengetahui burung-burung yang dikategorikan langka dan dilindungi oleh undang-undang perlindungan satwa. Burung-burung yang ada di pasar tersebut ditangkarkan di suatu sangkar yang sangat kecil dibandingkan alam bebas. Sehingga burung bukan lagi menjadi objek yang dinikmati secara alami (gratis), namun telah berubah menjadi nilai ekonomis. Apabila kita ingin jujur, terbersit pertanyaan "dari manakah asal burung-burung yang dijual di pasar burung???" Inilah awal dari pemikiran dasar penulis menyadari betapa pentingnya keanekaragaman hayati yang kita miliki.
Sebagaimana diketahui bahwa lingkungan tanpa satwa seperti rumah tanpa penhuni. Setiap jenis satwa di dalam ekosistem memiliki perang (niche) yang saling mendukung untuk mencapai keseimbangan ekologi. Dalam ekosistem yang mapan, jumlah setiap jenis satwa akan bersesuaian dengan daya dukung (carrying capacity) ekosistemnya. Sebaliknya, dalam sebuah ekosistem yang tergganggu akan terjadi ledakan populasi, karena satwa yang menjadi pemangsa (predator) dalam suatu rantai makanan jumlahnya berkurang atau punah.
Burung berperan sebagai katalisator berbagai proses penyerbukan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan berbagai vegetasi yang merupakan komponen penting ekosistem lingkungan.
Dalam kondisi lingkungan yang semakin rusak, perburuan satwa telah mempercepat laju desatwanisasi. Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada kepunahan ekosistem hutan alam yang masih tersisa di daerah pegunungan. Kepunahan hutan alam di wilayah tersebut akan berdampak terhadap meningkatnya laju erosi dan sedimentasi, bencana tanah longsor, banjir dan kekeringan. Tingginya laju sedimentasi selain menyebabkan pendangkalan sungai, juga akan merusak ekosistem terumbu karang dan rusaknya ekosistem perairan laut.
Ada beberapa peraturan yang dibuat untuk melindungi kehidupan binatang di Indonesia.
Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini menegaskan penjagaan keseimbangan ekosistem flora dan fauna di Indonesia.
Kedua, pada tahun 1998 ada undang-undang yang diajukan untuk melindungi satwa liar di luar habitatnya, yaitu SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1998.
Sekarang, undang-undang itu telah diperbarui dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi.
Manusia diciptakan oleh ALLAH SWT sebagai khalifah di muka bumi sehingga mempunyai keleluasaan untuk mengelola sumber daya alam. Apa yang terjadi saat ini adalah akibat kelalaian manusia sendiri. Kebiasaan merusak hutan dan mengurung binatang liar tentu harus menjadi renungan kita bersama. Biarkan burung dan satwa liar lainnya bebas di alam untuk menjalankan fungsi ekologi seperti yang dikehendaki-Nya.
Sumber gambar : Lambusango Lestari Edisi Khusus September - Oktober 2006
Read More......